BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kita kaum
muslimin memaklumi, bahwa bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an. Setiap orang
muslim yang bermaksud menyelami ajaran Islam yang sebenarnya dan lebih
mendalam, tiada jalan lain kecuali harus mampu menggali dari sumber asalnya,
yaitu Al-Qur’an dan sunnah Rasullah SAW.
Para
‘Ulama memberi julukan ilmu Nahwu dengan Abul Ulum yang artinya ayahnya
ilmu, dan memberi julukan ilmu shorof dengan Ummul Ulum yang artinya
ibunya ilmu.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang
perlu dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
- Apa pengertian Nahwu ?
- Apa latar belakang ilmu Nahwu ?
C. Tujuan Pembahasan
- Untuk memenuhi tugas kelompok Mata Kuliah Nahwu.
- Untuk mengetahui pengertian dan latar belakang ilmu Nahwu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nahwu
·
Secara Bahasa
1.
Bermakna ألقَصْدُ (menyengaja)
2.
Bermakna الْجِهَةُ (arah)
Contoh : نَحَوْةُ نَحْوَالْبَىْتِ Saya menyengaja ke arah rumah.
3.
Bermakna اَلْمِثْلُ (seperti)
Contoh :
زَىْدٌ نَحْوُ عَمْرٍو Zaid seperti umar.
4.
Bermakna اَلْمِقْدَارُ (kira-kira)
Contoh : عِنْدِى نَحْوُ الْفٍ Saya
memiliki kira-kira seribu.
5.
Bermakna اَلْقِسْمُ (bagian)
Contoh : هَذَا عَلَى خَمْسَةِ انْحَاءِ Perkara ini adalah lima bagian.
6.
Bermakna اَلْبَغْضُ (sebagian)
Contoh : اكَلْتُ نَحْوَ السَّمَكَةِ Saya
telah memakan sebagian ikan.
Yang paling banyak dari enam
makna di atas adalah maknah yang pertama.
·
Secara Istilah
Nahwu menurut istilah
diucapkan pada dua hal :
A. Diucapkan untuk
istilah fan ilmu nahwu yang mencakup ilmu nahwu shorof atau juga disebut ilmu
bahasa arab, yang devinisinya adalah :
عِلْمٌ بِاُصُوْلِ مُسْتَمْبَطَةٍ
مِن كَلاَمِ الْعَرَبِ يُعْرَفُ بِهَا اَحْكَامُ الْكَلِمَاتِ الْعَرَبِيَةِ حَالَ
اِفْرَدِهَا وَحَالَ تَرْكِبِهَا
Ilmu
tentang Qoidah-qoidah (pokok-pokok) yang diambil dari kalam arab, untuk
mengetahui hukum (Hukumnya Kalimat) kalimat arab yangtidak disusun (sepwrti
panggilan, idghom, membuang dan mengganti huruf) dan keadaan kalimat ketika
ditarkib (seperti I’robdan mabni).[2]
B. Istilah nahwu untuk
fan ilmu yang menjadi perbandingan dari ilmu shorof, yang definisinya adalah :
عِلْمٌ بِاُصُوْلٍ مُسْتَنْطَةِ مِنْ قَوَاعِدِ
الْعَرَبِ يُعْرَفُ بِهَا اَحْوَالُ آَوَاخِرِ الْكَلِمِ إعْرَابًا وَبِنَاءٌ
Ilmu
tentang pokok-pokok yang diambil dari qoidah-qoidah arab, untuk mengetahui
keadaan akhirnya kalimat dari segi I’rob dan mabni.[3]
Dari dua definisi diatas, yang dikehendaki adalah
definisi yang pertama, karena nahwu tidak hanya menjelaskan keadaan akhirnya
kalimah dari segi I’rob dan mabninya tetapi menjelaskan keadaan kalimat ketika
tidak ditarkib, yang berupa I’lal, idhom, pembuangan dan pergantian huruf, dan
lain-lain.
Nahwu merupakan salah satu dari dua belas cabang ilmu Lughot
Al-arobiyyah[4]
menduduki posisi penting. Oleh karena itu, nahwu lebih layak untuk dipelajari
mendahului pengkayaan kosakata dan ilmu-ilmu lughot yang lain. Sebab, nahwu
merupakan instrument yang amat fital dalam memahami kalam allah, kalam rasul
serta menjaga dari kesalahan terucap.[5]
Oleh karena itu, sebagai disiplin ilmu yang dianggap
penting, nahwu bukan sekedar untuk pemanis kata, akan tetapi sebagai timbangan
dan ukuran kalimat yang benar serta bias menghindar kan pemahaman yang salah
atas suatu wicara.[6]
Oleh karena
itu,menurut kaidah hukum islam, mengerti akan ilmu Nahwu bagi mereka yang ingin
memahami Al-Qur’an, hukumnya fardu ‘ain.
B. Ruang Lingkup Ilmu Nahwu
Ø
Sebab-sebab yang
Mendorong Disusunnya Ilmu Nahwu
Bangsa
Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua
bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai
dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada
saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup
melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam
bahasa Arab yang fasih.
Setelah
Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab
mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab
tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu
lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non
Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak
kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan
berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab
yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh
orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan.
Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat
melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat
Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun
kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.
Ø TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Tujuan
utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga
sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain,
ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa
Al-Qur’an (اعجاز القرآن).
Ø SIAPAKAH YANG MULA-MULA MENYUSUN ILMU NAHWU?
Melalui
pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal
dan dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib.
Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang
bernama Abul Aswad.
Mengenai
pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa
lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli
menyanggahnya dengan mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab,
terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli mengatakan bahwa tata bahasa Yunani
memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu, namun itu terjadi setelah
ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.
Ø PERKEMBANGAN ILMU NAHWU DARI MASA KE MASA
Perkembangan ilmu
nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan
pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai
munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode
ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa
pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah.
Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya
perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa
pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas,
mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan
kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
2.
Periode
Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode
ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini
tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun
daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi
perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai
menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya
Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada
masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang
saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3.
Periode
Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di
akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan
dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf
dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa
ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini.
Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru
Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme
alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan
antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai
Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai
kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat
Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah.
Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah
tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di
Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini.
Dalam ilmu Nahwu objek bahasannya tertuju
pada kosa katsa Arab baik dalam bentuk kata tunggal atau tersusun, mengenai
vocal akhir (I’rob) yang menentuakan suatu kata, mengenai pergantian,
pembuangan dan I’lalul huruf dan banyak yang lain.
Alam tata bahasa sintaksis Arab, dikenal
istilah Fi’iil dan Harf, jumlah Islamiyah dan Fi’liyah serta Syibhu jumlah.
Dalam ilmu Nahwu banyak lagi istilah dan persoalan yang dihadapi dapat diteliti
dari buku-buku bahwa yang banyak tersebar. Yang dikenal memprakarsai Nahwu
adalah Ali bin Ali Thalib beserta sahabatnya.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus
berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang
aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah
digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat
serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik
kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah
hanya berbicar tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga
mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ilmu nahwu bertujuan untuk menjaga dari kesalahan dan sebagai pengantar
untuk memahami Ilmu-ilmu lainnya.
2. Tujuan utama
penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga
Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain, ilmu nahwu
juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن).
B. Saran
Dari
beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik
disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk
memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya
salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Hudlori Hasyiyah 1, Hal.10
Ibnu
Wahid Alfat, Reaktualisasi Fan Nahwu, genesa product, Hal.19
Muhammad
bin ‘Ali As Shobban, Hasyi’ah As-Shobban (Haromain), 1;16
Taqrirot
Al Fiyyah, Hal.02
n678b4oofws743 wholesale sex toys,bullets and eggs,realistic dildo,wholesale sex doll,sex chair,wholesale sex toys,dildos,dog dildo,realistic sex dolls f752n2rpwql820
BalasHapus